Thursday, July 22, 2004

Yang Seharusnya

Such a lovely face
With a warm and tender smile
Though I want you so
Found in deep inside keep saying
Don't trust your heart this time

Could my mind be playing games
Am I so betrayed that my heart and mind
Can never be the same 
*Born to love*
 
Wah, sudah jam 5 buru-buru kukemasi barang-barangku. It’s time to go home. Setelah absen pulang, segera aku menuju tempat menunggu taksi. Puihh, kutarik nafas lega melihat antrian yang hanya 2 orang, berarti aku tak harus menunggu lama. Sekarang giliranku, untung dapet taksi biru, ujarku dalam hati. “Stasiun pak” kataku kepada sopir taksi setelah ia menyapaku dengan ramah. 
 
Tak sampai 15 menit taksiku pun tiba di stasiun yang telah tampak ramai dengan orang lalu lalang.  Setelah mendapatkan karcis, mataku pun menyapu orang-orang yang menunggu di peron.  Hmmm dimana ya gadis itu, mataku pun terus mencari, jangan-jangan dia belum datang.  Aku suka memperhatikannya, gadis mungil yang manis, hampir setiap hari menggunakan jasa kereta ekspress yang sama dengan diriku.  Ia selalu menunggu sendirian, kadang sibuk membaca buku, kadang ngobrol bersama temannya walaupun itu sangat jarang, ataupun hanya temangu-mangu memperhatikan orang yang lalu lalang dihadapannya.  Hampir selalu aku memperhatikannya jika ia berdiri didekatku tapi entah mengapa ia tak pernah menyadari atau pura-pura tak menyadari. 
 
Jangan-jangan ia sudah punya pacar, masa gadis secantik itu tak punya pacar, tak mungkin.  Tapi mengapa pacarnya tak pernah mengantarnya pulang? Mungkin pacarnya tinggal lain kota atau bahkan mungkin lain benua.  Jangan-jangan gadis itu sudah tunangan atau bahkan menikah, tapi gadis itu masih terlihat muda, bukankan tak ada larangan untuk menikah muda? Kurasa dia belum menikah karena aku tak pernah melihat satupun cincin melingkar di salah satu jarinya.  Ah itu dia, aku melihatnya berjalan perlahan dan kemudian berhenti didekatku, bersandar pada tiang dan mulai membaca buku yang dibawanya.  Wajahnya terlihat serius ketika membaca, membuatku bertambah mengagumi dirinya. 
 
Terdengar suara keras memberitahukan bahwa kereta kami akan tiba.  Setelah berdesak-desakan untuk masuk ke dalam kereta, mataku pun segera mencari ia, nah itu dia berdiri hampir diujung gerbong dengan perpegangan kepada tiang bangku, kulihat tempat berdiri disebelahnya masih kosong, segera saja aku berdiri disebelahnya.  Sepanjang perjalanan kulihat dirinya sibuk memperhatikan pemandangan dari pintu kaca kereta. 
 
Tak berapa lama kereta pun tiba di stasiun pemberentian pertama, ia segera berjalan menuju pintu dan kemudian berlalu dari dekatku.  Aku masih harus melanjutkan perjalanan sampai pemberentian selanjutnya.  Seandainya saja aku masih single tentu aku akan mengajaknya berkenalan dan mungkin berlanjut dengan mengunjungi rumahnya.  Tapi dengan adanya cincin yang melingkar dijari manisku, aku cukup puas dengan melihatnya hampir setiap  hari di stasiun, pulang bersama dengannya, itupun kalo bisa disebut pulang bersama, dan mereka-reka kisah cintanya. 
 
Akhirnya sampai juga aku dirumah, istriku menyambut kepulanganku dengan senyum yang tulus, dan aku pun tahu bahwa aku tak mungkin tega untuk menyakitinya.

No comments: